SEJAUH
KUMELANGKAH

Director’s Statement

Akhir tahun 2016 saya pindah ke Amerika Serikat—tepatnya Washington DC, untuk sementara. Ketika mencoba memahami dan menjajaki budaya Amerika sambil berusaha memperbaiki bahasa Inggris saya yang belepotan, saya bertemu Andrea—gadis 16 tahun (waktu pertama kali saya bertemu dengannya) yang membuat saya tertegun. Remaja tunanetra imigran asal Indonesia itu sudah bisa bersumbangsih ke komunitasnya. Saya menyaksikan Dea (selanjutnya kita panggil saja begitu) mempromosikan inisiatif guna meningkatkan akses untuk pengunjung penyandang disabilitas di sebuah museum di Virginia, saya juga kemudian tahu, Dea sering diundang untuk jadi narasumber dalam acara di mana para pendidik di sekolah sekitar Virginia, bekerja untuk menfasilitasi para murid berkebutuhan khusus—utamanya, murid tunanetra.

Saya amat terkesan dan menyadari bahwa gadis semuda dia telah mampu membuat perubahan untuk komunitasnya. Di negara asal tempat saya tinggal, akses sekolah untuk tunanetra saja masih susah. Sekolah inklusif meski memang sudah ada, pada kenyataannya banyak yang belum aksesibel untuk mereka: para penyandang disabilitas di Indonesia.

Dea lalu memperkenalkan saya pada teman masa kecilnya di Jakarta, Salsabila. Cerita mereka pun terurai: Dea ditolak masuk sekolah umum di Indonesia, dan karena alasan itu pulalah orang tuanya membawanya ke Amerika Serikat: supaya Dea yang tunanetra bisa mendapat masa depan yang lebih baik di sana. Salsa (nama panggilan Salsabila) dengan gigih masuk sekolah inklusif, tapi buku braille tak tersedia, demikian juga audiobook yang bisa membantunya memahami pelajaran di sekolah. Fasilitas untuknya tak tersedia, pendidiknya pun belum siap untuk memfasilitasi dirinya.

Kebutaan hanyalah urusan cara berpikir! Itu pendapat Dea. Yang paling penting menurutnya adalah dia harus punya alat yang bisa mambantunya untuk mampu terus menjelajah banyak kemungkinan di depan. Sementara bagi Salsa, dia percaya bahwa pengetahuan dan pendidikan sangat penting dan berarti, namun sebagai orang buta di Indonesia, dia tahu dia hanya harus terus maju jalan saja… lalu lihat sejauh mana ia bisa membawa dirinya melangkah mencapai masa depan. Akses terhadap pendidikan adalah hak asasi manusia yang paling dasar. Sekitar 4 juta orang buta dan mengalami gangguan penglihatan ada di Indonesia, tercatat sebagai negara berpenduduk terbesar kedua yang mengalami kebutaan di dunia (setelah Etihopia). Dengan angka statistik tercatat sebesar itu, sudah waktunya Indonesia membuat komitmen serius di ranah pendidikan untuk penduduknya yang mengalami gangguan penglihatan.

Saya adalah bagian dari mereka yang percaya bahwa masyarakat yang inklusif sangatlah penting untuk terwujud. Dea, Salsa dan saya—kami, sangat berharap bahwa Indonesia suatu hari nanti akan mampu, untuk bukan hanya bisa menghapus jumlah kebutaan (yang sebagian besarnya disebabkan oleh katarak) yang ingin diperangi di Indonesia, tapi juga sudah harus mulai bisa membangun jalan dan mengagendakan program-program yang terjamin aksesibel dan ramah untuk para penyandang disabiitas khususnya tunanetra di Indonesia: jalan menuju ranah setara!


DIRECTOR/PRODUCER
UCU AGUSTIN