Pendidikan Inklusif, Apakah Sudah Tercapai?
Pendidikan inklusif merupakan salah satu pilar untuk mewujudkan Indonesia Inklusif.Dalam film Sejauh Kumelangkah, pendidikan inklusif ini menjadi salah satu tema utamanya.
Download “Infografik Pendidikan Inklusif Apakah Sudah Tercapai?” klik di sini.
Setiap warga negara Indonesia memiliki hak yang sama dalam pendidikan, tanpa memandang status sosial, ekonomi, suku, etnis, agama, gender, kemampuan atau yang lainnya. Hal inilah yang menjadi salah satu pendorong adanya pendidikan inklusif di Indonesia. Dalam Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan, pendidikan inklusif diartikan sebagai sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Namun, apakah seluruh warga negara Indonesia, khususnya peserta didik penyandang disabilitas, telah mendapatkan haknya sesuai yang diamanatkan berbagai peraturan yang ada? Berikut ini perjalanan sejarah serta perkembangan sistem pendidikan inklusif di tanah air.
Sejarah Pendidikan Inklusif di Indonesia
Semenjak dikeluarkannya Undang-Undang Pendidikan Nomor 12 Tahun 1954,pendidikan bagi anak-anak yang memiliki kelainan fisik dan mental sebenarnya sudah terjamin secara hukum. Jaminan itu diberikan dalam bentuk sekolah bagi anak-anak penyandang disabilitas yang diakomodir oleh berbagai macam sekolah
luar biasa. SLB-A untuk tunanetra, SLB-B bagi tunarungu-wicara, SLB-C untuk tunagrahita, SLB-D untuk tunadaksa, SLB-E untuk tunalaras, SLB-G untuk tunaganda.
Untuk mengakomodir hak-hak penyandang disabilitas dalam bidang pendidikan,Pemerintah membuat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang mencakup hak- hak penyandang disabilitas, yakni dalam Bab IV Pasal 5 ayat 1 dan 2 yang berbunyi:
1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pendidikan yang bermutu.
2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Selanjutnya melalui surat edaran (Kemendiknas, 2010: 6) Dirjen Dikdasmen, Depdiknas No. 380/C.C6/MN/2003 20 Januari 2003 disebutkan: Setiap kabupaten/kota diwajibkan menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan inklusif di sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari: SD, SMP, SMA, SMK.
Yang terbaru, pada 20 Februari 2020, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas. Peraturan Pelaksana tersebut merupakan wujud amanat pasal 42 ayat 8 dan pasal 43 ayat 2 dan 4 Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, mengenai kewajiban penyelenggara pendidikan (sekolah dan universitas) dalam menyediakan akomodasi yang layak bagi peserta didik penyandang disabilitas.
Dikutip dari difabel.tempo.co, peraturan tersebut memuat panduan teknis penyelenggaraan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus di berbagai jenjang serta jenis pendidikan. Ada pula tata cara penyediaan fasilitas dan aksesibilitas dalam menunjang kegiatan belajar mengajar. Penyediaan akomodasi bagi peserta didik disabilitas tidak disamaratakan, melainkan sesuai dengan kebutuhan berdasarkan ragam disabilitasnya. Pasal-pasal yang diatur di dalam PP Nomor 13 Tahun 2020 ini dapat dijadikan pedoman dasar penyelenggaraan serta penyediaan aksesibilitas bagi sekolah berbasis pendidikan inklusif.
Perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lewat Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen) merilis data bahwa dari 1,6 juta anak berkebutuhan khusus di Indonesia, baru 18 persen yang sudah mendapatkan layanan pendidikan inklusif. Provinsi-provinsi yang telah mendeklarasikan diri menjadi penyelenggara pendidikan inklusif antara lain adalah provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2012, kemudian tahun 2013 dilanjutkan oleh provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatra Selatan, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan DKI Jakarta. Pada tahun 2014, provinsi Sulawesi Tenggara mendeklarasikan diri, disusul Sumatra Barat, Bali dan Lampung. Kemudian pada tahun 2015, hanya provinsi Sumatra Utara yang tercatat mendeklarasikan diri. Baru pada tahun 2016, Nusa Tenggara Timur dan Jawa Timur menjadi provinsi yang mendeklarasikan diri sebagai penyelenggara pendidikan inklusif.
Sarana, Prasarana, dan Cara Belajar Dalam Pendidikan Inklusif Secara umum, pendidikan inklusif adalah sistem pendidikan yang memberikan hak pada setiap anak, siapa pun dia, untuk belajar bersama-sama dalam satu kelas yang sama (kelas reguler). Mengingat kondisi peserta didik yang sangat beragam pada penyelenggaraan sistem pendidikan inklusif, maka diperlukan fleksibilitas dalam proses belajar.
Institusi atau penyelenggara pendidikan diimbau untuk tidak menerapkan satu metode belajar untuk semua anak. Sebagai panduan, Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 telah mengatur ketentuan dalam penyesuaian metode belajar, penyusunan kurikulum, hingga proses evaluasi belajar bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus. Hal ini merupakan bagian dari akomodasi yang layak bagi peserta didik penyandang disabilitas agar mereka tetap bisa belajar bersama
dengan teman-temannya yang non-disabilitas. Masih terkait dengan PP nomor 13 tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas, dalam sistem pendidikan yang inklusif, anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus perlu dipenuhi kebutuhan khususnya.Pemenuhan kebutuhan khusus ini tidak boleh hanya dibebankan pada sekolah saja, namun perlu ada lembaga penyedia layanan pendukung. Lembaga penyedia layanan pendukung yang dimaksud adalah Unit Layanan Disabilitas (ULD). Definisi ULD yang tercantum pada Bab I Ketentuan Umum PP Nomor 13 Tahun 2020 adalah sebagai berikut: Unit Layanan Disabilitas adalah bagian dari satu institusi atau lembaga yang berfungsi sebagai penyedia layanan dan fasilitas untuk penyandang disabilitas.
Dikutip dari kanal difabel.tempo.co: Institusi atau penyelenggara pendidikan yang belum memiliki Unit Layanan Disabilitas dapat mengajukan pembentukannya kepada pemerintah daerah atau kabupaten/kota untuk mendapatkan dukungan pendanaan. Bila sudah ada Unit Layanan Disabilitas di suatu institusi penyelenggara pendidikan namun tidak dijalankan sebagaimana fungsinya, dapat dikenakan sanksi administratif. Sanksi tersebut mulai dari teguran hingga pencabutan izin kegiatan. Bicara tentang sarana dan prasarana penyelenggaraan pendidikan inklusif, tidak hanya bicara tentang pembentukan Unit Layanan Disabilitas pada institusi pendidikan saja. Salah satu pilar utama dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif bagi peserta didik penyandang disabilitas adalah kehadiran Guru Pembimbing Khusus (GPK). Buku Pedoman Penyelanggara Pendidikan Inklusif tahun 2007 memaknai GPK sebagai guru yang mempunyai latar belakang Pendidikan Khusus (Pendidikan Luar Biasa) atau yang pernah mendapat pelatihan tentang Pendidikan Khusus (Pendidikan Luar Biasa) yang ditugaskan di sekolah inklusif. Selain memberikan pendampingan pembelajaran dan layanan pendidikan kepada peserta didik penyandang disabilitas, tugas GPK adalah membangun sistem koordinasi
antara pihak sekolah, guru kelas/mata pelajaran dan orang tua peserta didik.
Jadi, Apakah Pendidikan Inklusif di Indonesia Telah Tercapai?
Indonesia masih harus melalui perjalanan yang panjang dalam menerapkan sistem pendidikan yang inklusif karena Indonesia sesungguhnya belum benar-benar menerapkan sistem pendidikan inklusif, melainkan lebih cenderung ke penerapan pendidikan integrasi. Meski sudah ada deklarasi di sana dan di sini, namun baru
sebatas deklarasi, belum sampai pada tataran implementasi yang konsisten dan sistematis.
Pemerintah dan masyarakat harus terus belajar dan berupaya untuk membangun sistem pendidikan inklusif di Indonesia. Di samping itu, diperlukan komitmen dan kesungguhan dalam mengimplementasikannya, konsisten menjalankannya sesuai dengan tugas dan peran masing-masing, serta berkesinamungan dari generasi ke
generasi dan dari periode pemerintahan yang satu ke periode pemerintahan yang selanjutnya.